Hari Pahlawan merupakan hari
bersejarah bagi Indonesia. Hari pahlawan jatuh pada setiap tanggal 10 November yang
tentunya kita semua tahu, namun bukan hal aneh jika kita kadang tidak tahu arti
dari kepahlawanan sendiri. Kita hanya tahu bahwa hari itu adalah hari pahlawan,
selanjutnya kita tidak pernah mau memahami arti dari kepahlawanan itu sendiri.
Sungguh ironis kalau kita sebagai bangsa Indonesia tidak mau mengerti dan
memahami arti dan makna dari kepahlawanan.
Memang terlihat berbagai
koran-koran nasional maupun lokal dihiasi berbagai tulisan dan opini bertemakan
hari pahlawan tersebut. Beragam paradigma dan pendapat mengenai pahlawan
bermunculan seolah turut memeriahkan hari peringatan tersebut.
Thomas Carlyle memaparkan
berbagai jenis-jenis pahlawan. Bagi Carlyle pahlawan di posisikan sebagai
sumber dari segala perubahan. Pahlawan adalah manusia besar yang mengubah
sejarah umat manusia. Menurut dia yang menganut the great man theory, Muhammad
adalah sosok pahlawan. Demikian juga Karl Marx, Ernesto “Che” Guevara di
Amerika Latin,dan Kemal attaturk di Turki, maupun Mao Zedong di Cina.
Seperti itulah persepsi dari
Thomas Carlyle. Namun bagaimanakah dengan persepsi kita sendiri ? Dalam
Persepsi masyarakat pada umumnya, pahlawan merupakan orang yang telah berjasa
dalam mempertahankan negeri Indonesia ini atau jika kita persempit lagi bahwa
pahlawan merupakan orang yang rela berjuang di medan perang. Jika ditinjau dari
persepsi tersebut banyak ragam pahlawan yang terbentuk dalam sejarah
kepahlawanan di Indonesia, seperti pahlawan kemerdekaan, pahlawan revolusi, dan
pahlawan nasional.
Apabila di kaji lebih lanjut, ternyata
kata “pahlawan” akan bermakna orang yang berpahala. Kata ini di ambil dari kata
pahala-wan yang kemudian agar mudah menyebutnya menjadi pahlawan. Mungkin awal
dari pemberian nama pahalawan tersebut, karena masyarakat melihat sosok orang
yang berjuang menegakkan kebenaran adalah orang yang nantinya mendapatkan
pahala atas perjuangannya. Sedangkan, banyak sekali yang mendapatkan gelar
pahlawan di bumi ini tanpa jelas kebenaran perjuangan yang di lakukan orang
tersebut.
Sebagai contoh, Amerika
menganggap orang yang membumi hanguskan negeri-negeri islam dengan dalih
pemberantasan teroris sebagai pahlawan. Ir. Soekarno yang berhasil memerdekakan
Indonesia, dengan menghapus tujuh kata sakral dalam Pancasila yang
terang-terangan menghianati Islam, di anggap sebagai pahlawan. Kemal Attaturk
yang meproklamirkan berdirinya negara Turki, dengan sebelumnya dia meruntuhkan
Khilafah Islamiyah, di anggap rakyat turki sebagai pahlawan. Di Israel, David
Ben gurion yang telah banyak membantai warga Palestina dan merampas tanah
mereka juga dianggap sebagai pahlawan. Dan masih banyak contoh-contoh lain para
tokoh atau pihak yang sebenarnya belum tentu pantas mendapat gelar pahlawan.
Mungkin bisa juga benar,
tokoh-tokoh tersebut akan di anggap pahlawan bagi orang yang merasa sejahtera
dan puas karena perjuangan tokoh tersebut. Sebaliknya, tokoh-tokoh tersebut
bisa pula di anggap penghianat, pemberontak, penyerang, maupun ‘biang kerok’ di
lain sisi. Yaitu sisi dimana merasa di rugikan karena kehadiran atau
perjuangannya.
Menurut Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) Perluasan makna kepahlawanan berarti membuka ruang munculnya
pahlawan di segala bidang kehidupan. Setiap orang memiliki peluang untuk
menjadi pahlawan karena prestasi dan kerja keras yang dilakukannya bahkan
sampai mengorbankan kepentingannya sendiri. Ada pahlawan olah raga, pahlawan
pendidikan, pahlawan lingkungan, pahlawan kemiskinan dan pahlawan pembangunan.
Pengorbanan para pahlawan untuk
merebut kemerdekaan negeri ini tak diikuti oleh generasi penerusnya untuk
menjaga kemerdekaan itu dengan baik. Setelah puluhan tahun ditinggalkan
penjajah, rasa kecintaan terhadap bangsa dan negara terus terkalahkan oleh
semangat untuk menggapai tujuan pribadi maupun kelompok.
Pahlawan dan gelandangan mungkin
tak ada hubungan, tapi bisa juga ada. Seorang gelandangan bisa saja menjadi
pahlawan, tapi seorang pahlawan pun sangat bisa menjadi gelandangan, paling
tidak setelah ia tak lagi dianggap sebagai pahlawan. Tidak banyak manusia yang
beruntung, menjadi pahlawan dan abadi, dengan cerita kepahlawanan yang
dituturkan secara turun temurun. Tanpa sadar, kehidupan juga memisahkan antara
kepahlawanan dan manusianya. Kita sering masih suka menceritakan kehebatan dan
jasa seseorang, sementara di saat yang sama kita juga tidak mau tahu, bagaimana
kehidupan orang tersebut andai dia masih ada.
Bangsa yang baik adalah bangsa
yang menghargai pahlawannya. Apakah kita, bangsa Indonesia, adalah bangsa yang
baik? Mungkin iya, kita punya sejumlah nama pahlawan yang diabadikan menjadi
nama jalan atau nama tempat. Kita juga punya buku-buku sejarah yang
menceritakan kepahlawanan dari mereka yang dianggap sebagai pahlawan. Bahkan,
kita juga punya Taman Makam Pahlawan. Tapi barangkali kita juga harus mulai
mereview ulang apa yang telah kita lakukan terhadap para pahlawan.
opini oleh : Wisnu Putra Danarto
Pendidkan Geografi 2011
No comments:
Post a Comment