oleh : Arif Budiman
(Juara I Lomba Geo Fiksi)
“Cok! tak ada waktu.”
Dia kira keluargaku harus berpuasa terus-terusan. Apalagi
musim ini, hasil panen padi tak bisa balik modal gara-gara wereng. Entah lah
siapa yang ngirim wereng seganas itu, semenjak Pak Lurah baru itu memergoki
intrikku, nasibku sial terus. Jangan-jangan santet pak Lurah.
Hush.. Cok! Pikiranku kacau lagi. Harusnya aku fokus warta
berita hangat ini. Kemarin-kemarin warta berita besar selalu luput dari tangan,
termasuk yang sangat kusesali, laki-laki tua meninggal disrunduk lembunya
sendiri. Katanya sih gara-gara rumput yang dimakan lembu terkontaminasi cairan
kimia, setelah itu lembu hilang kendali dan mengamuk apa saja yang terlihat.
Jelang beberapa jam kemudian lembu itu ikut mati.
Mungkin hanya aku wartawan yang benar-benar wartawan. Jika
aku merasa tak punya pengetahuan dalam warta berita, aku pasti mundur, meski
aku mendengar doa keluargaku menunggu kiriman. Tapi, bukankah itu yang namanya
profesionalitas. Mungkin karena perihal ini cita-citaku sedari dulu.
Maka dari itu kali ini aku mengajak temanku lulusan
Kehutanan UGM. Hanya saja dia tidak bisa ikut.
***
Ternyata hutan ini sudah ada perubahan. Dulu masa kecilku
akses menuju Brumbun—pemandian air panas―sangat sulit. Tak ada jalan beraspal
seperti ini. kalau mau ke Brumbun nyawa taruhannya. Bagaimana tidak?
Hewan-hewan masih banyak termasuk hewan buas. Belum lagi bambu-bambu buas,
orang pedalaman dan kita harus bermalam di sana.
Kini pakai motor sudah bisa. Tak usah susah payah untuk
mandi ke sana. Biasanya penyakit-penyakit kulit diobati di sini. Air panas
alami ini.
“Kalau tempat ini di jogja, sepanjang perjalanan kita selalu
berpapasan dengan turis-turis dan yang pasti ramai sekali.”
Mungkin kata itu yang keluar dari teman kuliahku. Hanya bisa
kutertawakan. Pikirannya hanya megah dan mewah. Adakah pikiran anak cucunya?
Cok! payah sekali orang semacam ini.
Brumbun memang hari-hari biasa sepi, namun berhubung ada
kasus kematian santri Pesantren Sunan Drajat, kini penuh sesak. Mobil-mobil
polisi, warga sekitar, keluarga korban, santri-santri, wartawan-wartawan, dan
beberapa orang yang tak jelas statusnya.
“Siapa ya yang bakar?”
“Mungkin dia dibakar orang.”
“Ya pasti! Siapa lagi kalau bukan orang?”
“Mungkin setan, atau kutukan, atau petir, atau lagi....”
Suara bising datang dari sudut manapun. Hanya kemungkinan
kecil yang tepat pada pembicaraan mereka.
Mayat tergeletak tak jauh dari kolam pemandian air panas.
Garis polisi dibentang dan diikat di pohon jati yang menjulang tinggi sampai
tak terlihat ujungnya.
Ada beberapa kematian di dekat kolam air panas ini, namun
baru kali ini korban terbakar. Sebelum-sebelumnya hanya karna masalah
percintaan anak muda sampai pembegalan. Peristiwa ini sangat berpeluang
mendatangkan rezeki banyak. Tinggal aku ulur-ulur saja kenyataanya, biar banyak
pertanyaan, dan aku takkan kehabisan bahan.
Pakar geologi menyebutnya ada cairan kimia liar bebarengan
dengan keluarnya air panas, namun beda jalur dengan air. Kata Pak Kiai mungkin
itu adzab bagi santri. Kata Pak Dokter dia terkena virus baru yang ganas.
Aku anggap semua itu benar. Biar laporan beritaku lebih
panjang. Dan yang pasti keluargaku tak sering-sering berpuasa. Kasihan mereka.
Orang-orang mulai memenuhi Brumbun. Bukit yang biasa dipakai
mesum orang, kini penuh. Semak belukar rusak diterjang krumunan. Hampir tak ada
tempat duduk. Hanya sisa tempat untuk sapi-sapi yang mencari makan.
Ambulan sudah datang. Mayat siap dipulangkan. Dari pada di
sini hanya buat tontonan dan difoto, alangkah malangnya si Mayat. Padahal
semasa hidup setidaknya dia santri Pesantren Sunan Drajat.
“Lihat ke sana, Nak!”
Sesaat mata terfokuskan pada mayat yang diangkat ke ambulan,
nenek tua yang tak kukenal itu menuding ke arah yang sulit kujangkau.
“Bagaimana, Nek?”
“Ada apa, Nek?”
“Lihat saja!”
Aku digiring nenek menjauhi krumunan.
“Kamu akan mengetahui pohon-pohon, rerumputan, binatang di
sana?”
“Apa itu ada hubungannya dengan berita ini. atau bisa
memperkaya keluargaku, Nek?”
“Diam!”
Nenek tua renta menatap tajam kepadaku. Melewati akar-akar
pohon besar kita ke arah tudingan si Nenek. Akar-akar besar rasanya panas.
Mungkin karena cuaca.
“Nenek, orang mana?”
“Aku dari selatan.”
“Selatan?”
“Tak penting. Kamu mau kaya kan?”
“Oh, pasti, Nek.”
“Ayo!”
Sesampainya, aku dapati pemandangan yang indah. Rumput
terhampar ditiup angin sayu. Menari senada dengan perasaan ini. aku sangat
bahagia waktu itu.
Di sini ada ribuan sapi gemuk sehat sedang makan rumput
dengan tenang. Mungkin ini hadiah dari nenek tadi. Dan berbagai hidangan
hangat.
Aku teringat istriku, anakku, orang tuaku, keluargaku.
Ternyata mereka bersendagurau bersama sapi-sapi itu. kudekati mereka. Ingin kuraih tangan mereka.
Langkahku terasa semakin panas dan memanas. Tetapi aku harus
berlari. Anak-anakku memanggilku, sedangkan istriku menari-nari.
“Ayah! Ayah!”
“Sayang, kemarilah!”
Aku menoleh kebelakang.
“Sapi! Sapi! Sapi! Sapi!”
No comments:
Post a Comment