Pada Hari Rabu, 2 Mei
2018 pukul 18.30 WIB Bidang KASTRAT (kajian dan Aksi Strategis) HMPG (Himpunan
Mahasiswa Pendidikan Geografi) mengadakan serial diskusi pendidikan #1 di
Parkiran PKM FIS UNY. Diskusi kali ini bertemakan tentang "Kebebasan Akademik
dan Jam Malam di Kampus". Banyak peserta yang mengikuti diskusi ini.
Peserta pun cukup antusias dalam mengikuti diskusi, dapat dilihat peserta yang mengikuti diskusi ini aktif
bertanya, dan mengungkapkan pendapat dengan semangat.
Dari
diskusi tersebut diperoleh hasil bahwa salah satu usaha
Pemerintah Indonesia dalam memajukan bangsa adalah dengan menyelenggarakan
pendidikan tinggi. Sesuai dengan pertimbangan dalam UU RI No 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi poin b, “pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora, serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia
yang berkelanjutan.” Institusi penyelenggara pendidikan tinggi seperti
universitas memiliki hak dan tanggung jawab dalam melaksanakan amanat
pemerintah tersebut. Namun terdapat dinamika dalam pelaksanaannya, salah
satunya adalah permasalahan kebebasan akademik yang menemui titik pro-kontra.
Pada UU RI No 12 Tahun
2012 pasal 8 ayat (1) dan pasal 9 menjelaskan bahwa: “dalam penyelenggaraan
Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan
akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan” dan “Kebebasan
akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan
Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggungjawab melalui pelaksanaan
Tridharma.”
Konsep Pemerintah
Indonesia yang termaktub dalam UU RI No 12 sejalan dengan akar pemikiran John
Dewey (1859 – 1952) bahwa pendidikan adalah suatu alur progres, dan merupakan
gerakan itu sendiri, tiada tujuan akhir, dan selalu bergerak. Oleh karena itu
suatu Ilmu Pengetahuan selayaknya terus berkembang mengikuti alur peradaban
manusia sehingga tidak berjalan ditempat dan tanpa tujuan akhir. Pendidikan
terdiri dari instrumen yang membangun suatu organisme, terdiri dari ide-ide
untuk pemecahan permasalahan.
Sehingga muncullah istilah kebebasan
akademik atau hak otonom kepada seluruh universitas untuk mengembangkan
kebebasan akademik. Karena sebuah Ilmu Pendidikan adalah suatu progres kemajuan
untuk selalu berkembang. Hak otonom memberikan kesempatan universitas untuk melaksanakan
kewajiban yang telah tertulis di UU tersebut. Akan tetapi celakanya pada saat
yang sama pemerintah juga memberikan pembatasan-pembatasan ruang gerak
pengembangan Ilmu Pengetahuan yang juga mampu menjadi alat pembunuhan motivasi
pengembangan Ilmu Pengetahuan.
Seperti contoh aturan
tentang 1 sks yang menjadikannya kurang optimalnya pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Karena secara teknis memberikan batasan waktu kuliah dan
ketidaksesuaian praktik pendidikan tinggi dengan filsafat kebebasan akademik.
Pihak yang dirugikan adalah agen pengembangan pendidikan, yaitu mahasiswa dan
dosen. Terdapat suatu aturan yang dinilai mematikan motivasi pengembangan Ilmu
Pengetahuan yang sejalan dengan kebebasan akademik, pada filsafat kebebasan
akademik.
Pada dasarnya sebuah
sistem filsafat memiliki ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang
berfungsi untuk menjelaskan keteraturan yang telah diharapkan. Bila ditemui
kasus yang mencegah praktik filsafat yang dicetuskan tersebut maka, kondisi
ideal yang berusaha untuk diwujudkan akan menjumpai suatu kesenjangan. Dalam
kasus ini ketidaksesuaian kebebasan akademik dengan sikap pemerintah yang tidak
memberikan kebebasan tersebut.
Dalam forum diskusi
terdapat gagasan bahwa perlu ada upaya sadar baik dari pelaku pendidika tinggi,
yaitu mahasiswa dan pemerintah. (1) Mahasiswa adalah agen pendidikan tinggi
yang berpotensi untuk menjungkirbalikkan sistem, termasuk dalam kebebasan
akademik. Maka mahasiswa yang menikmati sistem kebebasan akademik yang
menjumpai kejanggalan pada sistem tersebut harus berupaya dalam berinovasi
juga. Sudah selayaknya untuk turun serta menjadi bagian dari masyarakat. (2)
Kemudian pada perspektif pemerintah haruslah menyadari gejolak revolusi
industri 4.0 yang ditandai dengan gerak cepat tanpa hambatan. Komersialisasi
pendidikan yang berusahaa untuk dipertahankan, kini sudah tidak relevan.
Berbagai informasi sudah sangat mudah diakses, jadi bila pemerintah masih
menutup diri seperti memberi pembatasan kebebasan akademik maka daya pikir
pemerintah dirasa tidak sejalan. Berdasarkan revolusi industri 4.0 terdapat
penyadaran di kalangan mahasiswa terhadap berbagai bahaya komersialisasi
pendidikan yang berusaha diarahkan pada kepentingan tertentu.
Selanjutnya gagasan lain
muncul seperti meskipun kebebasan akademik memang sebuah urgensi yang
seharusnya segera untuk diwujudkan, namun payung norma harus tetap
dipertahankan untuk terhindar dari permasalahan sosial lokal. Kebebasan
akademik sah-sah saja bila upaya pengembangan pendidikan masih mempertahankan
kaida-kaidah norma di masyarakat. hal ini juga mencoba untuk menjelaskan bahwa
baik komersialisasi pendidikan maupun kebebasan akademik dilarang keras untuk
diberdayakan sepernuhnya oleh insititusi pendidikan. Karena kendali dalam
penyelenggaraan pendidikan harus tetap berasal dari masyarakat Indonesia.
Skala perhatian kebebasan
akademik yang lebih detail menjelaskan bahwa pada jajaran birokrat universitas
sendiri memiliki ketidakpercayaan terhadap mahasiswa. Kebijakan tersebut
merupakan modus pembatasan akademik. Birokrat universitas pun dinilai memiliki
sifat yang tertutup terhadap kesenjangan tersebut, padahal jelas bahwa pihak
yang dirugikan adalah mahasiswa.
Upaya yang dicoba untuk
digagasan adalah pembukaan Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) untuk 24 jam
atau istilah jam malam. Mahasiswa yakin bahwa pembukaan selama 24 jam
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kreativitas mahasiswa. Karena
kebijakan ini setidaknya sebuah langkah yang efektif untuk diadakannya forum di
mahasiswa dan kegiatan lainnya. Pandangan negatif , seperti: jam malam
merugikan masyarakat sekitar, direspon secara pesimis oleh mahasiswa bahwa
kegiatan malam tidaklah mengganggu masyarakat sekitar dan tidak menimbulkan
kegaduhan yang potensial. Ditambah pembatalan kegiatan jam malam sebenarnya
merupakan upaya negatif, karena soalah-olah mahasiswa hanya dijejaki kuliah
teori pada siang hari, dan tidak diberikan waktu lebih untuk mahasiswa dalam
mengembangkan praktik di luar kuliah.
Sebuah asumsi dan
prediksi pun muncul. Bisa jadi pembatasan waktu kuliah adalah upaya untuk
membatasi gerakan mahasiswa. Pergerakan dan kreativitas mahasiswa dibatasi
dengan adanya peraturan jam malam dan kuliah dari pagi sampai sore. Sehingga
energi yang tersalurkan pada kegiatan yang bersifat mencerdaskan secara
intelektual kalangan mahasiswa.
Pandangan terhadap
mahasiswa yang dicoba dibangun oleh universitas adalah mahasiswa yang jauh
darimasyarakat. Seolah-olah mahasiswa dicetak sebagai generasi yang mengikuti
sistem aturan dan bersifat egois. Karakter ini menjadi branding yang diberikan
kepada mahasiswa oleh masyarakat.
Alternatif dari
permasalahan tersebut adalah sebuah upaya komunikasi yang seharusnya lebih
intensif antara mahasiswa dengan birokrasi universitas. Jalan tengahnya adalah
baik mahasiswa maupun birokrasi saling berargumen terkait baik-buruknya sebuah
pandangan yang ada. Birokrasi harus bersifat terbuka dan mau menerima
saran-saran yang diajukan oleh mahasiswa, namun juga vice versa. Mahasiswa
seharusnya selain kritis terhadap usulan jam malam juga harus tahu dampak
jangka panjang yang akan ditimbulkan terhadap kebijakan yang dicoba untuk
diusulkan. Apakah terdapat suatu permasalahan sosial yang lain atau tidak.
Terlepas dari tuntutan
mahasiswa terhadap kebijakan kebebasan akademik, perlu sebuah upaya filosofis
yang harus dilakukan. Harus muncul sebuah kesadaran dan inisiasi untuk merubah
kecacatan sistem dengan upaya pewujudan kebebasan akademik. Kebebasan akademik
seharusnya menjadi sebuah batu pijakan bagi manusia untuk menjadi manusia,
bukan menjadi robot yang serba diatur dan serba disetting sedemikian rupa.
Sebagai homo academicus sekaligus
khalifah di muka bumi, hanya manusia yang diberikan akal rasional untuk
mempertimbangkan baik-buruk dan terus mengembangkan apa yang diketahui oleh
manusia dalam sebuah ilmu pengetahuan. Sebuah perilaku yang tidak mengindahkan
kebebasan akademik bila sifat homo
academicus yang dibawa secara natural dimatikan dan diubah menjadi sarang
pemikiran dan sarang kepentingan tertentu yang mencekoki terus menerus hal-hal
non manusiawi.
Jam malam hanya menjadi
bagian kecil dari usaha praktik pembebasan manusia dalam sistem yang mecoba untuk tidak memberi
kebebasan. Kebebasan dari sebuah peraturan yang mencoba untuk memplotkan
jenis-jenis tertentu manusia. Atau sebuah mesin cetak kasat mata yang mencoba
untuk menyeragamkan dan membagi manusia menjadi kelompok golongan yang
fungsional satu-sama-lain.
No comments:
Post a comment