KASTRAT
IN COLLABORATION WITH EDUCARE
Rahim
peradaban merupakan hulu dari peradaban dimana anak-anak lahir untuk membangun
dan menciptakan suatu peradaban di dunia. Karena peradaban tercipta melalui
sebuah proses berkesinambungan, dengan paradigma perbaikan kualitas
infrastruktur dalam suatu tatanan masyarakat. Peradaban ini hanya bisa dikelola
oleh “anak” yang memiliki kualitas dalam bekerja dan berpolapikir. Namun “anak”
yang seperti apa yang seharusnya dilahirkan? Bagaimana masalah “anak” yang
lahir dari rahim peradaban?
Permasalahan
tersebut tentu berada pada perempuan, sebagai faktor utama dalam lahirnya suatu
peradaban. Permasalahan perempuan masihlah sama, yaitu perempuan masih dalam
kekangan pria dan masih sedikit yang berani di mimbar. Kekangan ini menjadi
bukti sebuah panoptisme, sebuah sistem kasat mata yang memberikan posisi dan
porsi tertentu untuk suatu golongan. Golongan ini merasa tertindas, memerlukan
yuridiksi untuk tetap bertahan dalam penindasan. Sedangkan golongan yang
lainnya sebagai kontrol untuk tetap menjaga kelangsungan hidup suatu sistem.
Feminisme
yakni memberikan pilihan-pilihan kepada perempuan sebagai golongan tertindas
untuk melakukan yang mereka mau. Perempuan memiliki kecenderungan untuk tidak
diperbolehkan untuk melakukan apa yang mereka mau. Perempuan senantiasa hidup
dalam ketakutan untuk membuat pilihan dikarenakan dominasi oleh laku-laki.
Begitupula sebaliknya, laki-laki sadar bahwa suatu tatanan sosial adalah hasil
buah pikiran seorang manusia (man)
yang berarti adalah laki-laki.
Kebebasan
tersebut diantaranya dituntut oleh wanita yang menikah muda, wanita sekolah
tinggi, wanita karir, ibu menyusui dan ibu yang menggunakan susu formula. Terlihat
jelas bahwa sebagai seorang perempuan yang dilakukannya pasti menuai sebuah
tegangan antara dirinya dengan lingkungan di luar yang tentu disebabkan oleh
sebuah kontrol sosial bila melakukan hal-hal tersebut. Pasti muncul stigma dan
cibiran atas tindakan seorang perempuan bila terindikasi dalam masyarakat.
Feminisme
bukan tentang sekolah tinggi, juga bukan hanya sekedar kesetaraan derajat.
Melainkan perjuangan untuk memperoleh kehormatan untuk tidak mudah
dijustifikasi dan tidak dihakimi oleh masa sendiri. Sejatinya dominasi
laki-laki atas wanita sebagai sebuah objek seks hanya akan menurunkan
derajatnya. Maka feminisme harus pintar, jangan membudayakan penjajahan
tersebut, jangan manutan, dan jangan
juga gampangan.
Akan
tetapi.
Idea
filosofis feminisme tentang idealisme kedudukan perempuan apakah memiliki
relevansi? Tentang keberlangsungannya untuk terus melestarikan feminisme, bila
melihat kondisi faktual masyarakat Indonesia yang multikultural. Ketika
membebaskan perempuan-perempuan untuk membuat pilihannya sendiri-sendiri,
apakah masyarakat siap untuk menerima konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul?
Harus maju atau mundur? Dan rumusan masalahnya dibatasi pada pembebasan yang
seperti apa yang dituntut oleh perempuan?
Problem ini
memiliki alternatif kebahagiaan sebagai paradoksia utopia yang hendak
diwujudkan. Misalnya kebahagiaan adalah tujuan utama manusia dalam menjalani
kehidupannya, namun beberapa hal menyebabkan hilangnya kebahagiaan yang ingin
dicapai oleh orang lain. Manusia sejatinya tau yang mana yang buruk dan benar,
karena manusia tidak akan bahagia jika semuanya terpaksa. Hal ini sesuai dengan
pandangan hidup manusia positif dalam menciptakan sebuah pengetahuan moral.
Keterpaksaan menyebabkan sesorang enggan untuk melakukan sebuah tindakan.
Keterpaksaan tersebut berupa hawa nafsu untuk pemuasan suatu kebutuhan fisik
manusia semata.
Sebuah
kemewahan dalam menggapai kebahagiaan menyebabkan hedonisme dan hilangnya akal
sehat. Seolah-olah terbawa oleh arus yang notabene hanya sampah dan ikan-ikan
saja yang bisa terbawa arus. Untuk menghindarinya maka kebahagiaan menjadi
kunci dalam berkehendak, karena kebahagiaan merupakan faktor bagi peradaban
yang maju. Namun kebebasan harus dilaksanakan secara bertanggungjawab. Dalam
artian bahwa kebebasan yang sebenarnya yang hendak untuk diwujudkan haruslah
terbebas dari segala macam kepentingan manusia sesaat.
Salah
satu alternatif anti tesis kebahagiaan tersebut terjadi ketika kebahagiaan
dirampas oleh kepentingan sesaat melalui pendidikan. Bahwa orang-orang yang
paling tinggi derajatnya adalah yang terdidik dan membenarkan diri sendiri.
Berani membenarkan diri sendiri berarti berusaha untuk menciptakan kontrol atas
yang kurang terdidik. Melalui koar-koar dengan
menunjukkan yang paling benar, melalui dalil bahwa perempuan yang dicerdasakan
tidak dapat kembali pada adat istiadatnya. Karena secara natural sudah bukan
manusia lagi.
Feminisme
atau kebebasan sebagai ad hoc
memberikan pilihan yakni dengan mengambil pilihan-pilihan untuk nikah muda
ataupun dengan kuliah tinggi. Terlepas dari sistem kasat mata yang mencoba
untuk menjebloskannya kembali ke tatanan masyarakat. Feminisme memberikan
sanksi “kita tahu apa yang kita pilih dan bertanggungjawab”. Sampai feminisme
memiliki kedudukan yang dapat disesuaikan dan fleksibel.
Setelah
memiliki sebuah kebebasan yang hendak diwujudkan oleh perempuan. Perlu juga
upaya sadar laki-laki untuk mengetahui idealisme tersebut, maka dapat dibedakan
anatara jenis kelamin dengan gender. Gender tidak hanya terbatas pada status fisik
yang melekat pada diri seseorang, melainkan peranan sosial ayng dimilikinya
sehingga dia berada di masyarakat. laki-laki sebagai gender juga harus
diberikan tekanan akan realitas tuntutan feminisme. Tuntutan untuk memberikan
penghargaan dan eksistensi perempuan dimanapun dia berada.
Peran
dan kondrat bawaan wanita, kontruksi sosial, bagaimana mewacanakan kebebasan di
kelompok sosial, mana sebenarnya kodrat dan konstruksi sosial. Semua hal
tersebut adalah idea-idea dalam feminisme. Kodrat menjadi salah satu yang
sering dibahas karena perselisihan yang terjadi anatar feminis dengan
masyarakat. Kodrat memiliki arti bahwa secara de facto manusia terlahir sebagaimana dia saat itu juga tanpa
adanya kesempatan untuk memilih kondisi apa yang dia inginkan. Karena kodrat
inilah penolakan terhadap feminisme menjumpai sentimen negatif dari masyarakat
karena mnyalahi kodrat. Menyalahi kodrat adalah kejahatan sosial yang dilakukan
oleh individu-individu. Pemberi sanksi pun masyarakat yang berlandaskan norma
sosial. Oleh karena itu kebahagiaan yang dicita-citakan oleh feminis memiliki
perselisihan karena kebahagiaan yang senantiasa direnggut padahal upaya
pewujudan cita-citanya talah dilakukan secara besar. Berikut konstruksi sosial
yang berupa bangunan masyarakat yang berfungsi secara organisk mengatur
keberlangsungan masyarakat sesuai hukum moral yang dianut. Lalu konstruksi ini
berfungsi sebagai pemberi posisi seseorang untuk ditempatkan agar masing-masing
masyarakat memiliki fungsional.
Konstruksi
sosial tersebut melakukan praktiknya di Indonesia salah satunya melalui
legitimasi untuk melemahkan perempuan dari laki-laki. Seperti Komnas Perempuan
menjadikan perempuan lemah melalui kebijakan-kebijakan yang diusulkannya.
Komnas pun juga tidak berperan secara maksimal, karena pandangan siapa yang
harus dibela? Apakah seorang feminis, seorang perempuan biasa, seorang
konstruktor sosial, atau aparat? Karena bila Komnas Perempuan dihapuskan tetap
akan ada banyak kekerasan terhadap perempuan, tidak dihapuskan pun tetap sama.
Budaya
patriarki yang dilestarikan di masyarakat akan sulit untuk hilang. Harus ada
penanaman pendidikan feminisme untuk memberdayakan perempuan untuk berkarya dan
dapat mengimbangi laki-laki. Sehingga sesosok manusia dinilai berdasarkan kemampuan, niali seseorang tidak lagi dinilai
karena suatu label. Upaya ini dilakukan untuk menghidari berbagai bumerang yang
akan menimpa masyarakat suatu saat, karena kini perempuan memiliki kemandirian
dan kepercayaan diri.
Prosedur
untuk memarginalkan stigma feminisme harus berasal dari diri sendiri dan
peningkatan kualitas masyarakat melalui pendidikan. Pendidikan yang baik
seharusnya menciptakan manusia yang baik juga sebagai bagian dari negara
Indonesia. Orang yang berpendidikan akan sadar bahwa pendapatnya tidak selalu
benar. Pemikiran bahwa dirinya selalu ingin menang sendiri dan cenderung
tertutup pada orang lain adalah kriteria retorika yang sama sekali tidak
membangun masyarakat. Karena budaya retorika adalah budaya egois yang tidak
memiliki empati terhadap manusia sekitarnya. Salah satunya adalah kata-kata “silent is gold”, diam berarti emas, tak
berkata bukan karena tidak memiliki argumen, melainkan keengganan untuk ikut
campur pada masalah yang dipandang rendah oleh seseorang.
Dapat
disimpulkan melalui pembahasan diatas bahwa rahim peradaban bukan hanya
melahirkan anak “brojol” secara
harfiah. Melainkan sebuah upaya sadar untuk mendidik, melakukan proses sosial,
dan menjadi inspirasi. Sehingga kelahiran feminisme sebagai dampak dari
globalisasi tidak semerta-merta dinilai negatif dan kafir dalam masyarakat.
Karena feminisme justru menyelamatkan manusia melalui pandangan holistik
tentang kebaikan-kebaikan yang tersisa pada diri manusia. Konservasi dalam
menciptakan masyarakat yang “itu-itu” saja tidak selamanya bisa bertahan di era
milenial, maka tuntutan feminisme dalam melahirkan peradaban yang lebih baik
harus disikapi secara positif demi kemajuan suatu bangsa.
Demokrasi
memberikan konsekuensi untuk masuknya paham luar yang bisa digunakan teladan
atau ancaman. Namun feminisme memiliki fleksibilitas untuk diikuti atau hanya
sekedar menjadi alternatif. Paradigma yang ada pada konteks feminisme adalah
merombak tatanan masyarakat kolot patriarki yang ketinggalan jaman. Sudah
saatnya feminisme memiliki posisi dalam pembangunan nasional. Sebagai suatu
pemikiran kiri fleksibel yang mengedepankan kebebasan dan penuntutan revolusi,
reformasi, atau yang terendah saja relokasi.
No comments:
Post a comment