SERIAL
DISKUSI #4 : RUU PERTANAHAN UNTUK RAKYAT ATAU SIAPA?
KASRAT
AND THE SOCIAL PROJECT
KAJIAN
DAN AKSI STRATEGIS
HIMPUNAN
MAHASISWA GEOGRAFI 2019
Rancangan Undang-Undang
Pertanahan akhir-akhir ini sering diperbincangkan di semua elemen masyarakat.
RUU ini banyak diperbincangkan karena dinilai memuat pasal yang bermasalah.
Salah satu pasal RUU Pertanahan yang bermasalah adalah pasal yang berisi
“Apabila tanah tidak optimal fungsinya atau tidak dipakai berhak diambil oleh
negara dan berhak didistribusikan kepada pihak yang akan memfungsikannya”.
Pasal tersebutlah yang banyak menuai kontroversi.
Apabila membicarakan
mengenai RUU Pertanahan maka tidak lepas dari membahas idealita dan realita.
Idealnya hukum dibuat untuk menata kehidupan di masyarakat. Namum, hukum dibuat
oleh manusia dan manusia punya kepentingan. Maka dalam realitanya hukum dapat
dibuat sesuai yang dikehendaki sesuai golongannya.
Munculnya RUU Pertanahan
dan dinamika yang terjadi beberapa minggu/bulan yang lalu menyebabkan banyak
penolakan dan disertai aksi. Jadi terdapat polemik atas RUU Pertanahan. Secara
hukum, produk hukum yang mengakomodir RUU Pertanahan yaitu Undang-Undang nomor
5 tahun 1960 yaitu mengenai Undang-Undang Pokok Agraria dan TAP MPR tahun 2001
mengenai agraria. Dibutuhkan UU operasional atau implementasi dari agraria.
Produk hukum yang baru dikehendaki mampu lebih operasional dari Undang-Undang
Pokok Agraria.
Idealnya, Undang-Undang
Pertanahan berangkat dari pancasila sila 1 sampai dengan 5, Undang-Undang Dasar,
Undang-Undang Pokok Agraria. Disebutkan bahwa Undang-Undang Nasional yang
mengatur agraria harus berasal dari penjelmaan Pancasila dan Undang-Undang
pasal 33 ayat 2 yang berisi: ”Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Rancangan Undang-Undang
Pertanahan seharusnya dibuat untuk keadilan dan kemakmuran masyarakat. Tetapi
pada akhirnya didalam dinamikanya Undang-Undang Pertanahan hari ini, sebenarnya
berdiri di persimpangan antara memberi kemakmuran bagi rakyat atau memberi
dampak kesengsaraan bagi rakyat.
Secara idealita, seharusnya kehadiran RUU
Pertanahan mampu untuk menjawab atau mengakomodir 4 problem, yaitu:
1. Untuk
mengatasi atau memberikan solusi dari ketimpangan kepemilikan tanah,
pengelolaan, dan penguasaan tanah
2. Harapannya
dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah agraria pada hari ini
atau era sekarang
3. Seharusnya
kehadiran RUU Pertanahan untuk tata guna tanah dan ruang
4. Untuk
sistem hukum dan administrasi tanah
RUU Pertanahan sudah dibentuk dan sayangnya tidak dibarengi dengan munculnya semangat reforma agraria. RUU Pertanahan yang dibentuk ini hanya mengutip didalam PP, bukan mengembangkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah pertanahan di masyarakat semakin banyak. Tanda tanda bahwa Undang-Undang bermasalah adalah adanya aksi. Apabila sebuah Undang-Undang tidak bermasalah maka tidak akan ada aksi atau penolakan. Polemik RUU Pertanahan ini berhasil digagalkan karena adanya aksi Gejayan Memanggil. Apabila hari itu tidak dilaksanakan aksi maka mungkin saja RUU Pertanahan ini akan dilanjutkan.
Terdapat beberapa pasal
dalam RUU Pertanahan yg membawa keburukan dan penindasan kepada rakyat. Salah
satunya yaitu pasal 91 dalam RUU Pertanahan atau yang disebut dengan pasal
karet yang berbunyi: “Setiap orang
yang menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum yang melaksanakan
tugas pada bidang tanah miliknya atau orang suruhannya, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 tahun denda paling banyak Rp500 juta."
Kewajiban negara yang
seharusnya melalui RUU Pertanahan, yaitu:
1. Negara
berkewajiban membuat rencana yang mengatur tentang pengelolaan, kepemilikan,
pemanfaatan, penggunaan, dan mencegah monopoli swasta.
Akan tetapi realitanya negara justru
mengakomodir asing dan melahirkan monopoli swasta.
2. Kedua,
negara harusnya memberikan perlindungan atas penguasaan tanah oleh rakyat.
Akan tetapi dalam realitanya, bukan
perlindungan yang di dapatkan oleh rakyat.
Konflik agraria dan RUU Pertanahan
mengalami banyak penolakan karena ada banyak hal yg tidak sesuai dan bahkan
membahayakan masyarakat adat dan masyarakat yg bahkan punya sertifikat hak
milik tanah. Ketika kita melihat RUU Pertanahan juga harus melihat RUU yang
lain seperti KUHP, UU Minerba, UU Pertanian Berkelanjutan karena Undang-Undang
tersebut berkaitan.
Selain itu, persoalan
mengenai RUU Pertanahan yang terjadi sekarang ini adalah RUU Pertanahan
bertentangan dengan UU Agraria. RUU Pertanahan masih jauh dari harapan
masyarakat. Bahkan UU Pokok Agraria sampai hari ini belum terlaksana sepenuhnya
sejak disahkan pada tahun 1960. Tetapi pemerintah justru membuat RUU baru yang
kontraproduktif dengan UU Pokok Agraria tahun 1960.
Beberapa konflik yang
terjadi berkaitan dengan RUU Pertanahan ada beberapa hal:
1. Ketimpangan
struktur agraria (antara pemilik lahan 1 dengan yang lain terutama perusahaan
sawit)
2. Maraknya
konfilik agraria (apabila disahkan maka masyarakat akan dirampas hak nya untuk
kepentingan umum)
3. Kerusakan
ekologis (lahan bekas sawit yg terbengkalai, perampasan lahan gambut untuk
sawit pasti akan mempengaruhi ekologis)
4. Banyaknya
alih fungsi lahan
5. Kemiskinan
akibat struktur agraria yang timpang (bagaimana masyarkat akan sejahtera
apabila tidak mempunyai tanah).
Apabila RUU Pertanahan
disahkan maka terdapat masalah pada pasal 25 soal HGU. HGU sendiri sudah
dipatok. Dan apabila RUU disahkan maka akan berakibat pada melanggengkan proses
perampasan lahan. Indonesia memiliki lahan sawit seluas 15 juta hektar. Luasnya
lahan sawit tersebut sebagian berasal dari merampas tanah adat, dan rakyat.
Kepemilikan lahan swasta sendiri seluas 10 juta hektar, 4 juta hektar lahan
sawit milik pemerintah, dan 1 juta hektar milik rakyat. Hal tersebut
menunjukkan ketimpangan ekonomi sangat terlihat. Dan RUU Pertanahan justru
memperlancar pemodal untuk menguasai atau merampas tanah rakyat.
Dalam forum diskusi
terdapat gagasan bahwa RUU Pertanahan tidak jauh lebih baik dari UU Agraria
tahun 1960. Dikarenakan dalam UU Agraria
sudah mengatur tentang hak kepemilikan tanah secara detail dan ditambah oleh
TAP MPR. Untuk apa dibuat RUU Pertanahan ketika UU Pokok Agraria yg seharusnya
didorong untuk dilaksanakan tetapi pemerintah tidak segara melaksanakan secara
tuntas dan justru membuat UU baru. Jadi inilah yang menyebabkan adanya banyak
ketimpangan di Indonesia.
No comments:
Post a comment